HUKUM-HUKUM PUASA BAGI MUSAFIR

#Madrasah_Ramadhan:
? HUKUM-HUKUM PUASA BAGI MUSAFIR
✅ Pertama: Keringanan Bagi Musafir
Musafir, orang yang melakukan perjalanan jauh dibolehkan berbuka dan tidak diwajibkan berpuasa, berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’. Allah ta’ala berfirman,
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka siapa diantara kalian yang sakit atau dalam perjalanan jauh (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain (di luar Ramadhan).” [Al-Baqoroh: 184]
Al-‘Allaamah Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
وقد أجمع العلماء أنه يجوز للمسافر الفطر
“Ulama sepakat bahwa dibolehkan bagi musafir untuk berbuka.” [Asy-Syarhul Mumti’, 6/326]
✅ Kedua: Bolehkah Musafir Berpuasa?
➡️ Kondisinya ada tiga:
1) Apabila musafir berpuasa akan membahayakannya atau sangat memberatkannya maka hukumnya haram, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَلاَ تُلْقُواْ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” [Al-Baqoroh: 195]
Sahabat yang Mulia Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ، فَصَامَ النَّاسُ، ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ، حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ، ثُمَّ شَرِبَ، فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ: إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ، فَقَالَ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ، أُولَئِكَ الْعُصَاةُ
“Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam keluar menuju Makkah di tahun Fathu Makkah di bulan Ramadhan, beliau ketika itu sedang berpuasa sampai tiba di bukit lembah Al-Ghamim, dan manusia ketika itu juga berpuasa, maka beliau meminta segelas air, lalu mengangkatnya agar manusia dapat melihatnya, kemudian beliau minum, maka dikatakan kepada beliau setelah itu: Sesungguhnya sebagian manusia masih ada yang berpuasa. Beliau bersabda: Mereka adalah orang-orang yang bermaksiat, mereka adalah orang-orang yang bermaksiat.” [HR. Muslim]
2) Apabila musafir berpuasa akan memberatkannya, namun ia masih mampu untuk berpuasa maka hukumnya makruh, berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ مَا هَذَا؟ فَقَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ لَيْسَ مِنَ البِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah melihat kerumunan orang dan seseorang yang dinaungi (karena kepayahan). Beliau pun bersabda: Ada apa dengannya? Mereka berkata: Dia sedang puasa. Maka beliau bersabda: Tidak termasuk kebaikan, melakukan puasa ketika safar.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
إذا اشتد الحر، وعظمت المشقة، تأكد الفطر، وكره الصوم للمسافر
“Apabila sangat panas dan berat bebannya maka sangat dianjurkan berbuka dan dimakruhkan bagi musafir untuk berpuasa.”[Majmu’ Fatawa, 15/237]
3) Apabila musafir berpuasa tidak membahayakannya dan tidak pula memberatkannya, atau kondisinya sama saja, baik berbuka atau berpuasa tidak ada bedanya, maka boleh baginya untuk berpuasa dan boleh berbuka, berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau berkata,
كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ، وَلاَ المُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ
“Kami pernah melakukan safar bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak puasa, dan orang yang tidak puasa tidak mencela orang yang berpuasa.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
ومن صام فلا حرج عليه إذا لم يشق عليه الصوم، فإن شق عليه الصوم كره له ذلك
“Barangsiapa berpuasa maka tidak ada dosa atasnya apabila puasa tidak menyulitkannya, namun apabila memberatkannya maka dimakruhkan baginya berpuasa.” [Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 15/237]
[Forwarded from www.sofyanruray.info]
✅ Ketiga: Bagi Musafir yang Boleh Berbuka dan Boleh Berpuasa Manakah yang Lebih Afdhal?
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah menguatkan bahwa yang afdhal baginya adalah berpuasa karena empat alasan:[1]
1) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah berpuasa ketika safar. Sahabat yang Mulia Abu Ad-Darda’ radhiyallahu’anhu berkata,
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِي يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الحَرِّ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا مَا كَانَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَابْنِ رَوَاحَةَ
“Kami keluar bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebagian safar beliau di hari yang sangat panas, sampai seorang laki-laki meletakkan tangannya di atas kepala karena sangat panasnya, dan tidak ada seorang pun diantara kami yang berpuasa selain Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rowahah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
2) Berpuasa lebih cepat membebaskan diri dari kewajiban.
3) Berpuasa lebih mudah ketika dilakukan bersama-sama kebanyakan kaum muslimin daripada melakukannya sendiri.
4) Berpuasa di bulan Ramadhan lebih afdhal.
✅ Keempat: Jarak Safar yang Membolehkan Buka Puasa
Jarak safar yang membolehkan seseorang berbuka puasa adalah jarak safar yang membolehkannya mengqoshor sholat, yaitu meringkas sholat yang tadinya empat raka’at menjadi dua raka’at. Berapa jarak minimalnya?
Pendapat Pertama: Mayoritas ulama berpendapat jarak minimalnya adalah kurang lebih 80 KM. Pendapat ini yang dikuatkan Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dan Al-Lajnah Ad-Daimah.[2]
Pendapat Kedua: Sebagian ulama berpendapat bahwa jarak safar dikembalikan kepada kebiasaan (‘urf) manusia.[3] Pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[4] dan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahumallah.[5]
Pendapat yang kuat insya Allah adalah pendapat kedua, karena tidak ada dalil yang shahihlagi sharih (tegas) yang menentukan jarak safar, maka dikembalikan kepada kebiasaan manusia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
كُلُّ اسْمٍ لَيْسَ لَهُ حَدٌّ فِي اللُّغَةِ وَلَا فِي الشَّرْعِ فَالْمَرْجِعُ فِيهِ إلَى الْعُرْفِ فَمَا كَانَ سَفَرًا فِي عُرْفِ النَّاسِ فَهُوَ السَّفَرُ الَّذِي عَلَّقَ بِهِ الشَّارِعُ الْحُكْمَ
“Setiap nama yang tidak memiliki batasan dalam bahasa dan tidak pula dalam syari’at, maka rujukan untuk menentukannya dikembalikan kepada kebiasaan, maka apa yang dianggap safar menurut kebiasaan manusia, itulah safar yang dikaitkan dengan hukum oleh Penetap syari’at.” [Majmu’ Fatawa, 24/40-41]
➡️ Apabila Terjadi Perbedaan Kebiasaan Manusia dalam Penentuan Jarak Safar
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Tidak mengapa ketika terjadi perbedaan kebiasaan dalam jarak tertentu sehingga seseorang mengambil pendapat yang menentukan jarak safar (80 KM), karena itu adalah pendapat sebagian imam dan ulama mujtahid, maka tidak mengapa insya Allah, namun apabila perkaranya dapat dipastikan dengan kebiasaan maka dikembalikan kepada kebiasaan itulah yang benar.” [Majmu’ Fatawa wa Rosaail, 15/265]
? Pembahasan Berikutnya:
✅ Kelima: Kapan Musafir Mulai Berbuka?
✅ Keenam: Di Mana Musafir Boleh Berbuka?
✅ Ketujuh: Apabila Musafir Singgah di Suatu Negeri, Masih Bolehkah Baginya untuk Tidak Puasa?
✅ Kedelapan: Apakah Orang yang Melakukan Safar dengan Pesawat Masih Boleh Berbuka?
✅ Kesembilan: Apabila Musafir Kembali Pulang di Siang Hari dalam Keadaan Tidak Berpuasa, Bolehkah Baginya Makan, Minum dan Berhubungan Suami Istri?
✅ Kesepuluh: Apa Kewajiban Musafir yang Tidak Berpuasa?
? Baca Selengkapnya:
? https://www.facebook.com/sofyanruray.info/posts/620290664787086:0
? http://sofyanruray.info/hukum-hukum-puasa-bagi-musafir/
══════ ❁✿❁ ══════
➡️ Bergabunglah dan Sebarkan Dakwah Sunnah Bersama Markaz Ta’awun Dakwah dan Bimbingan Islam ⤵️
? Join Telegram: http://bit.ly/1TwCsBr
? Gabung Group WA: 08111377787
? Fb: www.fb.com/taawundakwah
? Web: www.taawundakwah.com
? Android: http://bit.ly/1FDlcQo
? Youtube: Ta’awun Dakwah